Thursday, December 24, 2015

Toleransi Antara Natal dan Maulid Nabi

Semoga di malam natal ini tidak terjadi insiden apapun dan teman-teman yang Kristiani bisa menjalankan ibadah dengan lancar. Jika tidak bisa mengucapkan 'Selamat Natal' saya rasa tidak sepantasnya pula memajang himbauan larangan mengucapkan Selamat Natal di media sosial. Kita bisa memilih untuk diam dan tidak mengucapkan Selamat Natal, namun jangan sampai memprovokasi dan memperuncing perbedaan dengan himbauan tersebut di media sosial. Bukankah lebih baik menuliskan harapan untuk keamanan dan kedamaian selama teman-teman umat agama lain beribadah sehingga bisa terjalin kerukunan dan silaturahim yang baik?

Lagipula, kenapa yang digaungkan untuk dilarang hanya Selamat Natal saja? Bagaimana dengan perayaan agama lain seperti Nyepi, Galungan, Waisak dan Imlek? Apa karena mereka lebih minoritas jadi jarang sekali digaungkan himbauan seperti itu? Jika ingin adil, seharusnya himbauan seperti itu yang mereka pampang saat ini juga mereka pampang saat hari besar agama lainnya.

Saya pribadi melihat himbauan larangan ucapan Selamat Natal ini lebih berpotensi untuk memecah belah umat Islam dan Kristen. Jika tujuan anda berdakwah, apakah dulu Rasulullah juga melakukan hal seperti ini? Saya yakin Rasulullah mengajarkan akidah yang kuat dalam dakwahnya namun beliau tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti hati orang lain termasuk non muslim. Jika tujuannya dakwah namun isinya menyakiti hati orang lain apakah akan tetap baik?

Bukan kebetulan tgl 12 Rabiul Awal tahun ini jatuh berdekatan dengan hari Natal. Itu terjadi atas kuasa Allah. Ini justru momentum yang baik untuk kita belajar lagi bagaimana dulu Rasulullah memperlakukan non muslim. Bukti cinta kepada Rasulullah itu bukan dengan membuat peringatan hari lahirnya, tapi dengan meneladani beliau. Percuma membuat peringatan hari lahir beliau tapi masih menyakiti hati sesama manusia. Yang ada tindakan seperti ini hanya akan menumbuhkan kebencian di hati non muslim. Kalau begini, tidak heran Islamophobia terus berkembang.

Yuk, kita dakwah dengan cara yang baik. Rasulullah saja mau menyuapi seorang Yahudi dengan kasih sayang meski ia dizalimi. Masa kita yang mengaku umatnya tidak bisa mencontoh akhlak beliau. Minimal kita bisa membantu menjaga keamanan dan kenyamanan saat non muslim beribadah agar mereka bisa fokus beribadah tanpa kekecewaan dan kebencian terhadap muslim akibat himbauan larangan ucapan Selamat Natal itu.

Sunday, December 20, 2015

Our Family Under Attack (1)


                “My family, your family, our familly are under attack.” Kalimat ini dengan lantangnya disuarakan Bu Elly Risman saat membuka seminar parenting dengan tema “Mempersiapkan Anak Tangguh di Era Digital”. Mendengar ucapan Bu Elly yang bernada peringatan keras ini, saya membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk menyimak ilmu yang sangat bermanfaat ini. Bu Elly mengungkapkan bahwa orang tua saat ini tidak bisa dengan santainya menganggap bahwa anak-anak mereka baik-baik saja. Banyak pula orang tua yang tidak siap menjadi orang tua. Untuk menjadi orang tua, kita tidak bisa menimba ilmunya melalui bangku sekolah. Karena itu, ilmu dari seminar parenting ini setidaknya akan menjadi bekal bagi saya ketika kelak menjadi orang tua.
                Ketidaksiapan orang tua menjadi orang tua menjadi salah satu celah ancaman bagi keluarga kita. Ketidaksiapan menjadi orang tua disebabkan karena orang tua tidak menguasai tahapan perkembangan anak dan bagaimana cara otak bekerja. Dua hal mendasar ini akan berpengaruh pada kepribadian dan masa depan anak. Salah satu bentuk ketidaksiapan orang tua terlihat dari cara bicara mereka. Bu Elly mengungkapkan ada 8 kekeliruan dalam komunikasi:
      1.       Bicara tergesa-gesa
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang tua, khususnya ibu digambarkan cerewet dan bawel. Lihatlah bagaimana ketika orang tua mengomel pada anak-anaknya. Umumnya, orang tua bicara begitu cepat dan panjang lebar. Ini salah satu bentuk kekeliruan dalam berkomunikasi. Bicara panjang lebar dan tergesa-gesa akan menghasilkan masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
2.     Tidak kenal diri sendiri
Sangat mudah bagi kita untuk menggambarkan orang lain yang kita kenal. Namun, sulit bagi kita untuk menggambarkan diri sendiri. Hal ini dikarenakan kita tidak mengenal diri sendiri.
      3.       LUPA bahwa setiap individu itu UNIK
Selain tidak mengenal diri sendiri, kita seringkali lupa bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing. Seorang anak akan membawa setidaknya 350 sifat dari ayahnya dan 350 sifat dari ibunya. Kita tidak tahu sifat mana yang akan muncul lebih dominan. Sifat-sifat yang muncul ini tentunya berbeda untuk setiap anak yang bersaudara meski mereka sama-sama mewarisi sifat bawaan dari ayah dan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu itu unik.
      4.       Kebutuhan dan kemauan BERBEDA
Seringkali kita tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan kemauan. Kita bertindak lebih banyak sesuai kemauan bukan kebutuhan. Hal ini menjadi faktor kekeliruan orang tua dalam berkomunikasi.
      5.       Tidak bisa membaca bahasa tubuh
Orang tua dituntut untuk bisa membaca bahasa tubuh yang ditunjukkan anak. Kegagalan dalam berkomunikasi bisa jadi akibat orang tua yang tidak mampu membaca bahasa tubuh anak.
      6.       Tidak mendengar perasaan
Selain bahasa tubuh, orang tua juga harus mampu mendengar perasaan anaknya. Ketidakmampuan orang tua memahami perasaan anaknya maka komunikasi dengan anak tidak dapat terjalin dengan baik.
      7.       Kurang mendengar aktif
Saat orang tua bicara dengan anak, biasanya orang tua akan menjadi pihak yang lebih aktif berbicara daripada mendengarkan. Seharusnya, orang tua lebih banyak mendengar daripada berbicara.
     8.       Cara bicara yang keliru
Umumnya, orang tua bicara menggunakan gaya bicara yang tidak tepat terhadap anaknya. Setidaknya ada 12 gaya bicara populer yang biasa dilakukan oleh orang tua: memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/melabeli, mengancam, menasehati, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisa.

Kekeliruan ini dapat berakibat buruk terhadap anak. Bu Elly menyebutkan bahwa kekeliruan ini dapat melemahkan konsep diri anak, membuat anak diam, melawan, menentang, tidak peduli dan sulit diajak bekerja sama, merasa tidak berharga dan tidak percaya diri serta tidak terbiasa berpikir, memilih dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.