Showing posts with label Cultology. Show all posts
Showing posts with label Cultology. Show all posts

Saturday, June 24, 2017

A Nightmare Hospitality

People are celebrating Ied with their beloved family. They will gather around and visit their relatives. While visiting the relatives,  certain people will face several nightmare questions.

Different people will have their own nightmare questions.  For single fighter,  the most terrifying question is when you will get married.  For newly-wed couple the most annoying question is when you will have a baby. Meanwhile, one-child family will get bored hearing when you will have another child. There are many other horrifying questions for other people like college students,  son in law, etc. 

Personally, this year I am not bothered with those questions. The most mood-breaking questions for me is where you will go hometown. Well, I was born and raised in Depok but I've been living in Bandung since 2007. When I was living in Depok,  Bandung was my hometown. It changed specifically to Sarijadi district while living in Bandung.  At least,  it ran like that untill last year on Ied. Starting this year,  I don't have any hometown.

Although my mother is from Garut and my father was from Kuningan,  those cities are no longer their hometowns. They are just two towns without home.  Now, Bandung -especially Sarijadi district- is no longer my hometown. It is an empty home.  It's not as warm as it used to be.  The home starts to be left by its members. I live in the town but I cannot find my hometown. How pathetic I am. 

I made extreme decision by staying at mom's house with mom.  We won't visit people we used to visit.  I want to know if people will visit us. I want to know if we are still counted as family. So far,  my action brings positive impact.  My uncle and my aunt came and we had a good chit chat. My mom can talk to her younger brother and vice versa. 

My neighbor cousin came and I know that we count a lot on her and her family. It made me less relieved.  At least,  I know that she still cares about us like she always does. It doesn't mean that my other cousins don't but they seldom visit us so this year I want them to really visit us. 

I do not prepare much for Ied.  I cooked food for two people and thanks to Allah,  many people send food to us. I don't allow my mother to spend much on food that wouldn't be eaten by guests.  If they come they will just pay a visit as a guest not as relatives. That's what I think.

So, being person without hometown like me will feel sad when I get the mood-breaking question.  Do not hurt me by asking that kind of question to merely show your hospitality.  It is such a nightmare for me.

Thursday, December 24, 2015

Toleransi Antara Natal dan Maulid Nabi

Semoga di malam natal ini tidak terjadi insiden apapun dan teman-teman yang Kristiani bisa menjalankan ibadah dengan lancar. Jika tidak bisa mengucapkan 'Selamat Natal' saya rasa tidak sepantasnya pula memajang himbauan larangan mengucapkan Selamat Natal di media sosial. Kita bisa memilih untuk diam dan tidak mengucapkan Selamat Natal, namun jangan sampai memprovokasi dan memperuncing perbedaan dengan himbauan tersebut di media sosial. Bukankah lebih baik menuliskan harapan untuk keamanan dan kedamaian selama teman-teman umat agama lain beribadah sehingga bisa terjalin kerukunan dan silaturahim yang baik?

Lagipula, kenapa yang digaungkan untuk dilarang hanya Selamat Natal saja? Bagaimana dengan perayaan agama lain seperti Nyepi, Galungan, Waisak dan Imlek? Apa karena mereka lebih minoritas jadi jarang sekali digaungkan himbauan seperti itu? Jika ingin adil, seharusnya himbauan seperti itu yang mereka pampang saat ini juga mereka pampang saat hari besar agama lainnya.

Saya pribadi melihat himbauan larangan ucapan Selamat Natal ini lebih berpotensi untuk memecah belah umat Islam dan Kristen. Jika tujuan anda berdakwah, apakah dulu Rasulullah juga melakukan hal seperti ini? Saya yakin Rasulullah mengajarkan akidah yang kuat dalam dakwahnya namun beliau tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti hati orang lain termasuk non muslim. Jika tujuannya dakwah namun isinya menyakiti hati orang lain apakah akan tetap baik?

Bukan kebetulan tgl 12 Rabiul Awal tahun ini jatuh berdekatan dengan hari Natal. Itu terjadi atas kuasa Allah. Ini justru momentum yang baik untuk kita belajar lagi bagaimana dulu Rasulullah memperlakukan non muslim. Bukti cinta kepada Rasulullah itu bukan dengan membuat peringatan hari lahirnya, tapi dengan meneladani beliau. Percuma membuat peringatan hari lahir beliau tapi masih menyakiti hati sesama manusia. Yang ada tindakan seperti ini hanya akan menumbuhkan kebencian di hati non muslim. Kalau begini, tidak heran Islamophobia terus berkembang.

Yuk, kita dakwah dengan cara yang baik. Rasulullah saja mau menyuapi seorang Yahudi dengan kasih sayang meski ia dizalimi. Masa kita yang mengaku umatnya tidak bisa mencontoh akhlak beliau. Minimal kita bisa membantu menjaga keamanan dan kenyamanan saat non muslim beribadah agar mereka bisa fokus beribadah tanpa kekecewaan dan kebencian terhadap muslim akibat himbauan larangan ucapan Selamat Natal itu.

Tuesday, July 14, 2015

Idul Fitri: Momen Mengukuhkan Posisi

Apa makna dari Idul Fitri? Perayaan kemenangan? Momen silaturahmi? Saatnya berbagi? Rasanya ada makna lain selain yang telah disebutkan tadi.

Idul Fitri merupakan momen silaturahmi dimana banyak orang melakukan kunjungan ke sanak saudara, kerabat dan kolega. Momen ini juga dipakai untuk menggelar open house oleh beberapa orang. Pertanyaannya, siapakah yang berkunjung dan dikunjungi? Lalu orang seperti apa yang menggelar open house?

Kebanyakan orang yang dikunjungi adalah orang yang dituakan seperti orang tua, paman, bibi, kakak tertua, dsb. Tapi apa memang hanya memandang usia atau posisi dalam keluarga? Saya rasa tidak. Ada sebagian orang yang mengungjungi berdasarkan power yang lebih besar baik itu power dalam arti kedudukan atau harta. Selain itu faktor kedekatan atau keakraban pun mempengaruhi. Meski ada seseorang yang dituakan namun tidak memiliki power, jika ia memiliki kedekatan yang tinggi maka ia pun akan dikunjungi. Lantas bagaimana kalau tidak memiliki power dan kedekatan meski ia dituakan? Ya, jangan harap dikunjungi. Ia bisa mengunjungi untuk sekedar bersilaturahmi atau sekedar menunjukkan eksistensi.

Disamping hal kunjungan ini, gelaran open house tak kalah menarik untuk dicermati. Siapakah yang biasanya menggelar open house? Tak jauh berbeda dengan kasus di atas, tuan rumah open house biasanya adalah seseorang yang memiliki kekuasaan, kedudukan, materi berlimpah, popularitas dan sebagainya. Bagi orang-orang yang tidak memiliki hal di atas biasanya hanya akan menjadi tamu dalam acara open house tersebut. Karangan bunga, bingkisan, parsel hanya ditujukan bagi orang-orang penting yang kebanyakan adalah tuan rumah open house tersebut, ya kecuali bingkisan lebaran yang diterima pegawai.

Dua kasus diatas sebenarnya menggambarkan bahwa Idul Fitri di mana kita kembali suci tetap saja diwarnai oleh hal duniawi yang tak akan dibawa mati. Buat apa banyak parsel diterima kalau ia tak pernah berbagi. Buat apa ia berbagi kalau hanya ingin dipuji. Buat apa ia dikunjungi kalau tak pernah mengunjungi. Setiap tahunnya selalu ia yang dikunjungi tanpa pernah mengunjungi orang lain dibawahnya. Jika memang niatnya menjalin silaturahmi kenapa tak setiap tahun tuan rumahnya berganti? Jadi, mungkin saja Idul Fitri ini hanya momen mengukuhkan posisi.