Showing posts with label Think Tongue. Show all posts
Showing posts with label Think Tongue. Show all posts

Saturday, November 3, 2018

Ketika Musim Gugur Tiba

Ketika musim gugur tiba
Sebuah pohon berdiri tegak menghadapi belaian angin
Angin sejuk yang bertiup lembut perlahan menggoyang daun-daun kuning
Udara mulai terasa dingin
membuat daun dan rantingnya mengering

Ketika musim gugur tiba
Daun-daun yang menguning berusaha bertahan tinggal
Angin menghempas, menggugurkannya dari pohon
Pohon besar tua itu tak mampu menahan daun yang tanggal
Ia relakan daun-daunnya gugur dan tak mampu memohon

Ketika musim gugur tiba
Daun-daun berguguran meninggalkan jejak
Tertancap tegak tak mampu beranjak,
pohon yang kehilangan napas meranggas
Tuk bertahan ia harus melepas

Ketika musim gugur tiba
Daun-daun yang menemaninya
selama musim yang telah berlalu
Memenuhi tanah menjadi satu
Pohon tua siap menghadapi musim dinginnya
Sendiri menanti musim semi tuk memulai kembali hidupnya

Saturday, June 24, 2017

A Nightmare Hospitality

People are celebrating Ied with their beloved family. They will gather around and visit their relatives. While visiting the relatives,  certain people will face several nightmare questions.

Different people will have their own nightmare questions.  For single fighter,  the most terrifying question is when you will get married.  For newly-wed couple the most annoying question is when you will have a baby. Meanwhile, one-child family will get bored hearing when you will have another child. There are many other horrifying questions for other people like college students,  son in law, etc. 

Personally, this year I am not bothered with those questions. The most mood-breaking questions for me is where you will go hometown. Well, I was born and raised in Depok but I've been living in Bandung since 2007. When I was living in Depok,  Bandung was my hometown. It changed specifically to Sarijadi district while living in Bandung.  At least,  it ran like that untill last year on Ied. Starting this year,  I don't have any hometown.

Although my mother is from Garut and my father was from Kuningan,  those cities are no longer their hometowns. They are just two towns without home.  Now, Bandung -especially Sarijadi district- is no longer my hometown. It is an empty home.  It's not as warm as it used to be.  The home starts to be left by its members. I live in the town but I cannot find my hometown. How pathetic I am. 

I made extreme decision by staying at mom's house with mom.  We won't visit people we used to visit.  I want to know if people will visit us. I want to know if we are still counted as family. So far,  my action brings positive impact.  My uncle and my aunt came and we had a good chit chat. My mom can talk to her younger brother and vice versa. 

My neighbor cousin came and I know that we count a lot on her and her family. It made me less relieved.  At least,  I know that she still cares about us like she always does. It doesn't mean that my other cousins don't but they seldom visit us so this year I want them to really visit us. 

I do not prepare much for Ied.  I cooked food for two people and thanks to Allah,  many people send food to us. I don't allow my mother to spend much on food that wouldn't be eaten by guests.  If they come they will just pay a visit as a guest not as relatives. That's what I think.

So, being person without hometown like me will feel sad when I get the mood-breaking question.  Do not hurt me by asking that kind of question to merely show your hospitality.  It is such a nightmare for me.

Friday, July 8, 2016

Frozen

This iceberg is covering the small flesh Freezing and hardening makes it heartless Alone in the midst of a storm
Looking for companions to get warm

Sunday, December 20, 2015

Our Family Under Attack (1)


                “My family, your family, our familly are under attack.” Kalimat ini dengan lantangnya disuarakan Bu Elly Risman saat membuka seminar parenting dengan tema “Mempersiapkan Anak Tangguh di Era Digital”. Mendengar ucapan Bu Elly yang bernada peringatan keras ini, saya membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk menyimak ilmu yang sangat bermanfaat ini. Bu Elly mengungkapkan bahwa orang tua saat ini tidak bisa dengan santainya menganggap bahwa anak-anak mereka baik-baik saja. Banyak pula orang tua yang tidak siap menjadi orang tua. Untuk menjadi orang tua, kita tidak bisa menimba ilmunya melalui bangku sekolah. Karena itu, ilmu dari seminar parenting ini setidaknya akan menjadi bekal bagi saya ketika kelak menjadi orang tua.
                Ketidaksiapan orang tua menjadi orang tua menjadi salah satu celah ancaman bagi keluarga kita. Ketidaksiapan menjadi orang tua disebabkan karena orang tua tidak menguasai tahapan perkembangan anak dan bagaimana cara otak bekerja. Dua hal mendasar ini akan berpengaruh pada kepribadian dan masa depan anak. Salah satu bentuk ketidaksiapan orang tua terlihat dari cara bicara mereka. Bu Elly mengungkapkan ada 8 kekeliruan dalam komunikasi:
      1.       Bicara tergesa-gesa
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang tua, khususnya ibu digambarkan cerewet dan bawel. Lihatlah bagaimana ketika orang tua mengomel pada anak-anaknya. Umumnya, orang tua bicara begitu cepat dan panjang lebar. Ini salah satu bentuk kekeliruan dalam berkomunikasi. Bicara panjang lebar dan tergesa-gesa akan menghasilkan masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
2.     Tidak kenal diri sendiri
Sangat mudah bagi kita untuk menggambarkan orang lain yang kita kenal. Namun, sulit bagi kita untuk menggambarkan diri sendiri. Hal ini dikarenakan kita tidak mengenal diri sendiri.
      3.       LUPA bahwa setiap individu itu UNIK
Selain tidak mengenal diri sendiri, kita seringkali lupa bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing. Seorang anak akan membawa setidaknya 350 sifat dari ayahnya dan 350 sifat dari ibunya. Kita tidak tahu sifat mana yang akan muncul lebih dominan. Sifat-sifat yang muncul ini tentunya berbeda untuk setiap anak yang bersaudara meski mereka sama-sama mewarisi sifat bawaan dari ayah dan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu itu unik.
      4.       Kebutuhan dan kemauan BERBEDA
Seringkali kita tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan kemauan. Kita bertindak lebih banyak sesuai kemauan bukan kebutuhan. Hal ini menjadi faktor kekeliruan orang tua dalam berkomunikasi.
      5.       Tidak bisa membaca bahasa tubuh
Orang tua dituntut untuk bisa membaca bahasa tubuh yang ditunjukkan anak. Kegagalan dalam berkomunikasi bisa jadi akibat orang tua yang tidak mampu membaca bahasa tubuh anak.
      6.       Tidak mendengar perasaan
Selain bahasa tubuh, orang tua juga harus mampu mendengar perasaan anaknya. Ketidakmampuan orang tua memahami perasaan anaknya maka komunikasi dengan anak tidak dapat terjalin dengan baik.
      7.       Kurang mendengar aktif
Saat orang tua bicara dengan anak, biasanya orang tua akan menjadi pihak yang lebih aktif berbicara daripada mendengarkan. Seharusnya, orang tua lebih banyak mendengar daripada berbicara.
     8.       Cara bicara yang keliru
Umumnya, orang tua bicara menggunakan gaya bicara yang tidak tepat terhadap anaknya. Setidaknya ada 12 gaya bicara populer yang biasa dilakukan oleh orang tua: memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/melabeli, mengancam, menasehati, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisa.

Kekeliruan ini dapat berakibat buruk terhadap anak. Bu Elly menyebutkan bahwa kekeliruan ini dapat melemahkan konsep diri anak, membuat anak diam, melawan, menentang, tidak peduli dan sulit diajak bekerja sama, merasa tidak berharga dan tidak percaya diri serta tidak terbiasa berpikir, memilih dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.


Wednesday, July 22, 2015

Remember You, Remember Three Previous Dramas

Drama yang satu ini, sesuai dengan judulnya, membuat kita teringat sesuatu. Remember You atau Hello Monster berkisah seputar polisi dan konsultan polisi. Misteri berbagai kasus kriminal banyak ditemukan di sini, khususnya pembunuhan. Sepanjang sepuluh episode ini, setidak-tidaknya menemukan persamaan dengan tiga drama sebelum ini.

Di awal-awal episode kita disuguhkan flashback yang menjadi latar belakang Lee Hyeon, sang pemeran utama. Saat menonton episode ini seperti menemukan You Are All Surrounded dalam alurnya. Mungkin karena melibatkan sebuah tim detektif. Struktur timnya pun mirip, sebuah tim dengan satu orang detektif wanita.

Semakin ke episode pertengahan dimana beberapa kasus pembunuhan bermunculan, semakin tebawa ke drama lainnya: Sensory Couple. Ada kasus pembunuhan berantai dengan modus operandi yang serupa dengan kasus di Sensory Couple, yakni penculikan dan pembunuhan dimana mayatnya ditemukan tujuh hari kemudian. Pembunuhnyasama-sama seorang psikopat. Bedanya, tidak ada barkode di lengannya. Untuk membongkar kasus ini, seorang detektif wanita menjadi korban penculikan yang tidak disengaja. Lagi, hampir serupa dengan alur cerita di Sensory Couple.

Terakhir, konflik antara Lee Hyeon dengan adiknya yang sudah lama terpisah. Konfliknya mirip dengan konflik yang dialami Dal Po dan kakaknya. Kakak dan adik terpisah belasan tahun. Selama terpisah ternyata salah satu dari mereka menjadi pembunuh. Salah satu hal yang mendorong ia menjadi pembunuh adalah karena saudaranya tidak mencarinya lebih cepat. Ini terjadi antara dua pasang kakak beradik ini. Bedanya, di Remember You, sang adik menjadi pembunuhnya sedangkan di Pinocchio sebaliknya.

Apa kemiripan ini bisa dikatakan intertextuality? Ish, bahkan menonton drama Korea saja masih bisa menemukan potongan-potongan puzzle materi kuliah. Thanks to all lecturers, sekarang menonton drama atau film saja tidak lagi sekedar hiburan. Banyak hal yang bisa diamati, dianalisis dan disimpulkan bahkan dikritisi.

Wednesday, November 16, 2011

Galau...oh galau...

GALAU! Kayanya kata galau tuh lagi ngepop banget ya... Sekarang kalau gundah gulana sedikit dibilang galau. Semalam saya baca salah satu blog teman saya yang membahas masalah kata galau ini. Menurutnya, kata galau ini semakin di salah artikan. Menulis sebuah saja di salah satu social media aja langsung dikomen galau oleh temannya. Teman saya pun nampaknya irritated ya atas komen tersebut karena dia merasa bahwa orang yang komentar galau itu ga bisa bedain antara bekreativitas dengan sajak dan bergalau ria melalui social media. Menulis kata puitis sedikit saja langsung dicap sedang galau. Saya jadi berpikir, ini memang kata galau yang disalahartikan atau memang makna galau ini bisa diterapkan dalam konteks2 yang saat ini sedang booming...(read:  konteks social media). Nah mari kita melongok sebentar ke link di bawah ini:

http://kamusbahasaindonesia.org/galau/mirip

Menurut KBBI di link tersebut, kata galau dapat didefinisikan sebagai situasi dimana seseorang sedang dalam keadaan kacau pikiran. Sekarang yang jadi pertanyaan apakah orang yang berkreativitas dalam menulis sajak itu dapat diartikan sebagai orang yang sedang kacau pikirannya (read: galau)? Menurut saya pribadi sih beda ya.. Kalau memang berkreativitas dengan kata puitis itu selalu diartikan dengan galau, berarti pujangga2 besar menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam kegalauan atuh ya? Hmmm, kalo gitu pikiran mereka selalu kacau dong? Nah, inilah yang harus diluruskan. Menulis itu baik puisi maupun prosa tidak bisa dicap begitu saja sebagai satu kegalauan. Menulis itu merupakan buah pikiran yang dituangkan dalam kata2. Memang benar bahwa bahasa itu merefleksikan pikiran seseorang. Tapi menulis satu karya dengan kata romantis dan puitis tidak begitu saja diartikan buah kegalauan. Susah lo menuangkan perasaan dengan kata pilihan penuh makna seperti puisi. Saya saja yang kuliah di jurusan sastra belum mampu menelurkan puisi yang berbobot. Banyak aspek yang harus dipikirkan dalam menulis (apapun itu). Nah, saat pikiran sedang kacau, memang seringkali memancing kita jadi kreatif dalam menulis tapi tidak berarti setiap tulisan hasil satu kegalauan. Karena dalam menulis karya sastra tidak bisa sembarang galau... kalaupun galau juga tetap galau cerdas karena penulis harus mampu memikirkan aspek nilai sastra dalam tulisannya.

Nah, sekarang kalau kita mau pake kata galau, liat2 sikon deh. Jadi generasi cerdas lah yang bisa memilah dan memilih penggunaan kata. Kan malu kalau pake satu kata tapi malah salah makna dan tak tepat konteks. Mau gaya malah malu deh.....

Saturday, December 11, 2010

Dilemma Anjing

Saya baru menyadari bahwa makna kata anjing sudah mulai bergeser ya....
Hal ini berawal ketika belajar English bersama Keisah--ponakan saya yang paling bawel. Ketika ditanya apa arti dog, dia kontan menjawab 'gugug'. Saya tanya, 'kenapa bilangya gugug?' Dia menjawab, 'Kan kata ibu ga boleh ngomong anjing.'

Dari kejadian diatas, insting linguistik saya menyala seketika. ada kecurigaan bahwa anak-anak sekarang dijauhkan dari kata anjing dan diganti menjadi gugug agar lebih halus. Kenyataannya, anjing terdapat dalam kamus besar Bahasa Indonesia untuk menerangkan hewan dengan empat kaki yang bisa menggonggong. Jika memang kata anjing itu sudah baku, kenapa harus diperhalus?